SERBA SERBI

apa saja

Tuesday, May 6, 2008

Sekedar komentar : " Lulus sekolah = corat coret seragam? = KAMPUNGAN!

Pengumuman kelulusan sekolah yang sekian lama dinanti mulai tiba. Meski tidak serentak namun geliat respon terhadap hal itu mulai terasa. Gelisah, gembira, sedih, dan ramainya selebrasi mewarnai hajatan depdiknas ini. Tahun ini mungkin lebih special karena mungkin standar kelulusan dengan sistem Ujian Nasional (UN) di rasakan berat oleh siswa-siswa sekarang (padahal sih, kebangetan kalo dengan standar itu tetep saja nggak lulus. Bukannya setuju dengan sistem kelulusan saat ini, namun menurut Saya standar yang ditetapkan cukup ringan kok, anak-anaknya saja yang saat ini susah banget kalo yang namanya belajar dengan rajin).

Saya tak akan membahas lebih jauh tentang Ujian Nasional, namun lebih fokus pada "budaya"- kalo boleh Saya sebut- warisan dari pendahulu berupa mencorat coret baju seragam yang katanya sebagai kenang-kenangan, padahal Saya yakin tidak sampai 10% nya yang menyimpan seragamnya yang telah diisi coretan-coretan "gang"nya itu sebagai kenangan, paling paling dijadiin kain lap di rumah.

Tidakkah lebih baik dan berkesan jika, kebiasaan ini di ganti dengan corat coret di buku kenangan masing masing? Atau seperti yang dilakukan siswa/i di salah satu SMU di Jawa Timur baru baru ini, mereka mengumpulkan baju baju seragam mereka untuk disumbangkan kepada anak tidak mampu.

Bukannya tidak menghargai mereka-mereka yang merayakan kelulusannya dengan mencoret seragamnya, atau dengan pawai motor keliling kota, Saya tahu mungkin memang mereka menikmati itu dan mendapatkan kepuasan tersendiri. Namun Saya yakin merekapun sebenarnya tahu bahwa hajatan mereka itu sering mengganggu ketertiban umum. Teriakan2 mereka kadang terdengar berisik, cara mengendarai motor mereka sangat membahayakan pengguna jalan yang lain. Apalagi jika mereka kebablasan merayakannya dengan melibatkan "minuman keras" sebagai sebuah kebanggaan aneh.

Mungkin menurut adik adik siswa terasa aneh jika Saya menyarankan pula agar merayakan kelulusan mereka dengan membersihkan selokan selokan? Mungkin berisiknya mereka bisa ditolerir jika berisik karena membersihkan selokan atau gerakan bersih sampah. Capeee...deh! itu yang mungkin keluar dari mulut mereka.

Apalagi bila Saya menyarankan agar mereka menyisihkan uang saku mereka untuk beramai-ramai mengunjungi panti asuhan, memberikan sumbangan ala kadarnya untuk Saudara-saudaranya yang tidak seberuntung mereka. Capeee ....deh! itu lagi mungkin tanggapannya.

Terus gimana lagi dong? Yang penting banyak saran yang sudah diberikan. Jika hal "kuno" itu yang tetap mereka lakukan, jangan salahkan siapa siapa jika mereka mendapat "pelajaran" dari kemarahan masyarakat, atau terpaksa diciduk aparat. Atau kalau mereka sedikit punya hati dan kesetiakawanan, tidakkah mereka memikirkan perasaan kawan-kawannya yang tidak lulus? bukankah mereka sedang sensitif di saat-saat seperti ini, wartawan saja bisa jadi luapan emosi mereka.

Satu hal lagi yang perlu dipikirkan. Apalagi rencana mereka selanjutnya? sudah siapkah menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi? bisakah setidaknya ikut berpikir betapa puyengnya orang tua mereka memikirkan biaya dan masa depan mereka ditengah ironi bahwa APBN untuk biaya pendidikan dinaikkan oleh pemerintah namun sekolah makin menggila biayanya? Kadang cuma 'mbatin, mau jadi apa mereka nanti? yang begini nih penerus kita?

Embuh lah.




Sumber Foto : Pikiran Rakyat.

No comments: